Minggu, 04 Desember 2011

Salai Ikan LELE Jadi Komoditi Ekspor Di SumBar


Masyarakat Sumatera Barat sejak lama mengenal ikan salai, yaitu ikan yang dikeringkan lewat proses pengasapan. lkan salai cukup diminati, selain bergizi, rasanya juga lebih gurih dibanding ikan-ikan biasa. Hampir semua jenis ikan dapat dibuat salai, tetapi yang paling disukai adalah salai ikan lele. Salah satu pembuat salai ikan lele di Sumatera Barat adalah Desfialti, dengan bendera CV. D.A. PABATA (Doa Amak Pambangkik Batang Tarandam) artinya “Karena Doa Ibu Bisa Mengangkat Kehidupan Yang Lebih baik”. Lajang Sarjana Perikanan yang sampai saat ini bekerja sebagai Asisten Luar Biasa di Laboratorium Biologi Universitas Bung Hatta mulai menggeluti usaha salai ikan pada 1989 dengan modal Rp 200.000,- untuk membeli pelet (makanan ikan) 50 kg dan bibit ikan lele 1.500 ekor.


Desfiaiti yang akrab disapa bu Efi, mendirikan usaha salai lele (limbek) ini untuk melestarikan makanan khas desa Palembayan yang makin jarang. Salai ikan lele ini memanfaatkan potensi ikan di Sumbar, sekaligus untuk menggerakkan para wanita nelayan & pengolah ikan di pantai Kota Padang, Pariaman, Agam dan Pasaman Barat. Soal harga jual ada dua macam, salai lele mentah (packing) seberat 300 gram dengan harga Rp 30.000, dan salai siap saji (packing) seberat 200 gram harga Rp 30.000.

Teknologi tradisional,

Pembuatan salai lele masih memakai alat tradisional, hanya proses pengasapannya memakai oven. Pertama-tama ikan lele disortir, kemudian dibelah sehingga berbentuk melebar, dibuang insang dan isi perutnya, lantas dicuci dan ditiriskan, diberi bumbu dan didiamkan selama 15 menit agar bumbu meresap. Ikan lele diletakkan secara teratur di atas alat terai yang terdapat didalam oven pengasap, dilanjutkan ke proses pengasapan selama ± 2 hari jam kerja dengan api kecil sampai lele kering dengan merata. Kemudian lele dikeluarkan dari oven dan dianginkan pada suhu kamar, setelah salai lele dingin lalu dikemas dengan menggunakan kantong plastik polyethylene dan karton dupleks yang sudah diprinting. Proses pembuatan salai lele siap saji, dan saiai lele mentah sama. Bedanya untuk salai siap saji dilanjutkan ke proses penggorengan dan pemberian bumbu. Sementara untuk limbah lele yang berupa insang dan isi perut dimanfaatkan sebagai makanan ikan dengan niiai jual Rp 1.500 per kg.

Pasar prospektif,

Dengan melihat potensi ikan yang cukup melimpah di Sumatera Barat, usaha pengolahan ikan seperti salai ini cukup prospektif. Salai lele Desfialti, kini pasar-nya tidak hanya di wilayah Sumbar saja, tetapi sudah merambah ke Pekan Baru, Jambi, Batam, Tanjung Pinang, Jakarta dan bahkan ekspor ke Malaysia dan sudah berjalan selama 3 tahun. Upaya untuk meningkatkan pemasaran, Desfialti sudah melakukan beberapa perubahan. Selain diversifikasi produk, adalah melakukan perbaikan kemasan dari kantong plastik PE ke Aluminium Foil. Begitu pula masalah desain lebih disempurnakan. Kegiatan promosi yang hampir tidak pernah di lewatkan oleh Desfiaiti adalah mengikuti pameran baik di dalam negeri maupun luar negeri. Misalnya pernah ikut pameran, Pesta Penang di Malaysia tahun 2005. Sedang untuk meningkatkan kemampuan SDM, Desfialti mengikuti berbagai jenis pelatihan teknis pengolahan ikan, manajemen, pemasaran, sistem mutu, kemasan dan lainnya. Pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan selain diterapkan pada usahanya juga disebar luaskan kepada perajin iainnya sehingga industri sejenis dapat berkembang dengan cepat Disamping itu untuk menjaga produk agar aman dikonsumsi Pabata menerapkan GMP dan sudah bersertifikat halal.

Memberdayakan masyarakat,

Pengolahan salai lele yang dikelola oleh Desfialti melibatkan masyarakat sekitar tempat usaha. Sekitar 177 kepala keluarga dianjurkan untuk beternak lele dan hasil panennya dibeli. Upaya lainnya adalah memberdayakan GWNPI (Gabungan Wanita Nelayan dan Pengolah Ikan) yaitu masyarakat yang tersebar dipesisir pantai Kota Padang, Pariaman, Agam dan Pasaman Barat, terbentuk dalam 3 kelompok yang memproduksi surimi sebagai bahan baku untuk pembuatan nugget ikan dan kerupuk ikan. Untuk meningkatkan keterampilan para anggota GWNPl, telah didatangkan instruktur dari DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) dengan biaya Swadana atas gagasan Desfialti. jerih payah dan perjuangan Desfialti membina dan mengembangkan industri kecil ikan salai diakui oleh Pemerintah Provinsi Sumbar, dengan diberikan penghargaan antara lain sebagai 1) Pemuda Pelopor Tk 11 Kotamadya Padang Tahun 1998, Bidang Kepeloporan: Pembangunan Industri Pedesaan (Ikan Salai)” dari Walikota Padang 2). “Pengusaha Kecil Berprestasi I tahun 1999 Sektor Industri Pertanian” dari Kakanwil Depkop Pengusaha Kecil dan Menengah Provinsi Sumbar 3). “Pengusaha Kecil Berprestasi Tahun 2000″ dari Meneg Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah RI dan 4). “Pengusaha Kecil dan Menengah Berprestasi Tahun 2002 Tk. Kota Padang” dari Walikota Padang.

Tujuh kendala,

Namun dalam kenyataannya selama ini usaha Desfiati menghadapi beberapa kendala, yang paling sering dialami antara lain, pertama pada musim kemarau panjang lele sulit didapatkan sehingga produksi terhenti. Hal ini bukan saja berdampak pada usaha Desfialti tetapi juga terhadap 177 KK sebagai peternak lele dan kelompok di GWNPI sebagai pembuat surimi tidak dapat berproduksi. Kedua, masih banyak perajin pengolah ikan yang hasil produksinya cukup baik tetapi belum dikemas dengan baik. Ketiga, keterbatasan peralatan yang tersedia (masih manual) sehingga mutu produk yang dihasilkan kurang baik terutama saat memproduksi dalam jumlah besar. Keempat; pemanfaatan potensi ikan di wiiayah Sumatera Barat belum diiakukan secara optimal. Padahal ini adalah merupakan keunggulan komoditi pangan atau pengolahan ikan Sumbar untuk memenangkan persaingan bisnis dimasa datang. Kelima, kesulitan untuk menembus pasar swalayan karena pembayaran secara konsinyasi bahkan walaupun produk sudah laku terjual tetapi pembayaran terlambat Keenam, belum memiliki showroom di Padang. Pemasaran di wilayah Padang terbatas hanya dititipkan pada toko-toko ternama penjual makanan khas Sumatera Barat seperti Christine Hakim, Sherly dan lainnya sehingga harga jual produk menjadi lebih tinggi. Ketujuh, Keterbatasan modal untuk pengembangan produk maupun investasi, sangat sulit untuk mendapatkan kredit dengan bunga lunak dan penyiapan agunan. (Elly Nirmafa/Boedi Sawitri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar